![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTvf23S3dzbwr13xOwEkdaI1tJLGRTGwKaZ0Z3lAWIsWN4UqZ3DAmFUaNkzPPbeIdTRFXkY3iaYNTr1n9zqhE3ECvllDJjzefWow3S_VEJ_0vGAvNN5ZQbGX1rJ7OZEXt9hi3DqvBz-g/s320/review+aadc2.jpg)
Roman singkat Rangga dan Cinta yang ikonik itu memang menggetarkan. Keduanya saling memendam perasaan dan ketika keduanya tahu cara itu salah, perpisahan di bandara adalah cara terbaik untuk meluapkan semuanya. Di dunia nyata, hubungan macam itu sering disebut cinta monyet, sebuah masa indah kala sekolah yang sebenarnya tak perlu lagi diulang. Ketika keduanya dipertemukan kembali belasan tahun kemudian, susah menemukan logika yang pas untuk membenarkan pengulangan klise romantis yang dilakukan film sebelumnya.
Memang benar Ada Apa Dengan Cinta? dan sekuelnya seharusnya tidak dipandang terlalu serius. Ini film populer yang tujuannya memang untuk menyenangkan penonton. Hanya saja ketika skenario ditulis dengan tergesa-gesa dan logika dipilih untuk diabaikan, ide bagus macam apa pun tidak akan membekas. Sutradara sekaliber Riri Riza dan penulis skenario Mira Lesmana dan Prima Rusdi tak berhasil meletakkan dasar realita bagi kisah Ada Apa Dengan Cinta 2.
Dari awal film dimulai, dahi sudah mulai dibuat mengernyit. Geng Cinta berkumpul untuk menunggu Karmen (Adinia Wirasti), yang baru selesai dari masalahnya, dan Geng Cinta merasa perlu menghiburnya dengan pergi liburan. Kalau merasa ada yang aneh dengan kalimat barusan, bayangkan ketika menontonnya langsung. Setelah semuanya sudah berkumpul, Cinta (Dian Sastrowardoyo) mengumumkan pertunangannya dengan Trian (Ario Bayu).
Sementara itu di New York Rangga terlihat resah, seperti biasa, ketika datang ke kedai kopi yang ia punya bersama temannya. Alasannya? Tak ada. Ia hanya resah. Lagipula selama ini penonton tahu kalau Rangga selalu terlihat seperti menanggung beban (yang kalau dipikir-pikir tak ada). Tiba-tiba adik tirinya datang (jauh-jauh dari Yogyakarta) untuk menyampaikan kalau Rangga harus bertemu dengan ibunya, ibu yang tak pernah ia temui setelah 25 tahun. Alasannya? Tak ada. Ia hanya perlu menemuinya.
Dengan set-up selemah itu, mudah membayangkan bagaimana jadinya film ini berjalan. Cerita tak asyik untuk diikuti dan beberapa bagian terasa dipaksakan. Penulisan dialognya kacangan. Usaha untuk membuat karakternya tetap trendi malah menggelikan, dalam arti yang tidak baik.
Setiap karakter seperti tidak dibangun dengan baik. Bahkan untuk ukuran orang-orang yang harusnya berada di umur tiga puluhan tak ada yang berubah dari perilaku masing-masing ketika masih bersekolah. Karmen yang karakternya dimaksudkan untuk membuat cerita berjalan sering terasa mengganggu. Latar cerita karakternya juga tidak kuat. Satu-satunya scene stealer dari para tokoh yang ditulis setipis sutra ini adalah Milly (Sissy Prescillia) yang masih menghibur dengan celetukannya.
Yogyakarta yang dimaksudkan sebagai wajah utama film ini, yang harusnya bisa memberikan sesuatu ke dalam cerita, seringnya jadi tempelan selayaknya Bali di film-film Hollywood. Bintang tamu dari para pekerja seni diletakkan begitu saja, tak berpengaruh ke cerita dan tak memberikan perkembangan kepada karakternya, seperti pigura yang hendak membuat elok lukisan. Patut disayangkan mengingat setiap pelaku di dalamnya bukan orang sembarangan.
Rangga yang kini bukanlah Rangga yang tak sensitif di film pertama, ia punya lebih banyak inisiatif, seakan rindu yang dikuburnya selama ini benar-benar telah jadi kebun bunga yang dibiarkan berkembang di hatinya. Setiap kali Cinta marah, ia merasa perlu memperbaiki keadaan, tak ingin ia sia-siakan waktu yang mungkin hanya sedikit itu. Dalam rangkaian adegan ini penonton diajak mengingat kembali betapa kuatnya kimiawi yang diciptakan oleh kedua aktornya. Kalau saja pembuat film berfokus menjadikan kisah keduanya jadi film perjalanan saja pastilah AADC 2 akan jauh lebih mengkilap.
Banyaknya product placement sepanjang film memberikan pertanyaan besar apakah film ini memang dibuat untuk penonton atau cuma untuk menyenangkan pengiklan? Karena kalau memang dibuat untuk alasan terakhir, pembuatnya tentu mencapai tujuan utamanya dan patut diapresiasi. Tapi untuk alasan lain di luar itu, sepertinya memang kisah Cinta dan Rangga cukup berakhir di masa sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar